Cinta Tak Pernah Menyerah
Oleh: Henry Sujaya Lie
Saya sedang iseng. Iseng menonton video klip sebuah lagu soundtrack
film ABG, My MVP Valentine. Well, dari judulnya sudah tahu betapa
ABG-nya lagu dan film itu. Masa-masa yang sudah lewat..saya pikir. Masa
ABG penuh dengan cinta monyet yang konyol. Tapi entah mengapa
Saya menontonnya, dan memutarnya lagi dan lagi. [Ups..don' t tell
me it's because I am feeling blue..]
Tiba-tiba saya melihat seperti sepercik keindahan yang dimiliki masa
lalu, tapi hilang setelah kita menjadi dewasa. Anak ABG penuh dengan
gejolak dan gelora. Banyak salahnya, kata kita setelah kita menjadi
dewasa. Mungkin betul. Tapi juga mungkin tidak semuanya salah dan
jelek. Saya melihat sekelebatan dari film itu, cewek yang setia
menunggu cowoknya walaupun ditinggalkan. Cowok yang mencintai seorang
cewek dengan tulus walaupun tahu tak bisa bersama. [Ok..ok..I know it's
only a movie..I know..]
But, please tell me..tell me your past. Siapa yang rela nungguin
pujaan hati di bus stop di tengah hujan deras, walau bisnya sudah
lewat? Siapa yang rela nabung uang jajan berbulan-bulan demi
membelikan kado buat pacarnya? Siapa yang rela jemput naik turun
bis-mikrolet untuk seseorang? Siapa yang rela bikinin semua PR dan
nyatetin ringkasan pelajaran demi pacarnya? Siapa yang rela menunggu
bertahun-tahun walau yang dicintai jauh di negeri seberang? Jawabnya:
Anak ABG.
Then tell me now. Siapa yang berantem gara-gara suami kesal menunggu
istri yang shopping kelamaan? Siapa yang bertengkar gara-gara perbedaan
definisi "Saving"? Yang satu berpendapat yang namanya saving,
yaitu uang yang disimpan di bawah kasur, yang satu berpendapat
saving itu seperti yang diumumkan shopping mall, shopping dan save 50%
karena ada sale. Siapa yang bertengkar soal pembagian tugas rumah
tangga, soal siapa yang ngambil raport anak, dll? Jawabnya: Orang
dewasa.
Tiba-tiba saya merasa seperti Peter Pan - yang tidak ingin kehilangan
masa kanak-kanaknya di dunia antah berantah, negeri di mana orang
tidak akan menjadi dewasa. [Oh, come on Henry! You've grown up now?
Don't think like kids!]
Saya juga jadi teringat akan kisah cinta yang lain. Saya teringat masa
ABG juga dengan cinta yang membara untuk Tuhan. Ribuan orang
berkumpul dalam sebuah retreat pelajar se-Jawa Barat. Ribuan ABG
mendedikasikan hidup bagi Kristus, bersiap pergi sekalipun harus
diutus ke Afrika sekalipun, rela menyerahkan segala-galanya bagi Dia.
Siapa yang dengan sukacita lembur malam-malam untuk mendekor gereja
buat perayaan Natal? Siapa yang tetap rajin ke gereja, walau
jelas-jelas pendetanya tidak pernah menyapanya atau bahkan
mengenalnya? Siapa yang tetap bertahan dalam pelayanan walaupun
setiap kali ke gereja dimarahi habis-habisan oleh orang tua? Siapa
yang tiap malam-pagi menghafal ayat Alkitab dengan semangat? Siapa
yang menyisihkan 50% uang jajannya untuk penginjilan? Jawabnya: Anak
ABG.
Siapa yang bertengkar dalam rapat majelis gara-gara soal sebuah
generator diesel? Siapa yang tidak mau lagi ke gereja, karena
pendetanya lupa tersenyum dalam satu kebaktian? Siapa yang malas ke
gereja karena hujan gerimis? Siapa yang hitung-hitungan dengan Tuhan
tentang uang, waktu, dll? Siapa yang menyisihkan 0,5% gajinya untuk
penginjilan? Jawabnya: Orang dewasa.
[Oh come on ! Lain, dong..anak ABG belum mengenal realitas hidup.
Orang dewasa dituntut untuk berpikir logis, rasional, dan
bertanggung jawab? Mencari uang, misalnya adalah tanggung jawab orang
dewasa?]
Well, may be it's true. I don't have an exact answer. Saya cuma
punya secercah harap. Beberapa saat yang lalu, saya berjumpa dengan
Ed Silvoso yang membagikan pengalamannya. Beliau adalah pelopor
kebangunan rohani di Argentina yang bukan hanya mengguncangkan gereja,
tetapi bahkan komunitas dan seluruh negerinya. Dia adalah pahlawan
Allah yang membawa transformasi sosial, politik, rohani, emosi bagi
seluruh negeri Argentina. Namun yang dia bagikan saat itu adalah
tentang komitmennya untuk membuatkan sarapan pagi bagi istrinya setiap
pagi. Setiap pagi? Ya, setiap pagi.
Huh..!?
Sound like cinta ABG? Well, but it's true. Mungkin memang seharusnya
pijar-pijar cinta ABG tidak pernah mati, walaupun kita menjadi dewasa.
Kita menjadi dewasa dalam pemikiran, menjadi bijaksana dalam
pertimbangan, tapi mengapa mesti kehilangan passion-nya anak ABG?
Bayangkan jikalau pijar-pijar itu tetap membara. Jika passion itu
mewarnai hidup kita, dalam pernikahan, dalam hubungan kita dengan Bapa
dan dengan sesama. Ya, seharusnya cinta tak pernah menyerah. Usia,
tuntutan kerja, dunia orang dewasa tidak perlu memadamkan cinta. Cinta
tak pernah menyerah. Biarkan cinta kita tetap membara bagi Kristus,
walau di tengah tuntutan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Biarkan
cinta kita tetap membara bagi kekasih kita, walau tangan dan wajahnya
sudah keriput dan tidak lagi seperti saat kita pertama "deg-deg-an".
Biarkan pijar-pijar itu tetap hidup?.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar